Pembantaian Westerling adalah salah satu peristiwa paling kelam dalam sejarah kolonial Indonesia, terjadi di Sulawesi Selatan antara Desember 1946 dan Februari 1947. Peristiwa ini melibatkan eksekusi massal warga sipil oleh pasukan Belanda yang dipimpin oleh Kapten Raymond Westerling, seorang perwira tentara Belanda.
Latar Belakang
Konflik Kemerdekaan: Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Belanda berusaha merebut kembali kendali atas wilayah-wilayah yang telah menyatakan kemerdekaan.
Sulawesi Selatan: Wilayah ini menjadi salah satu basis perjuangan para pejuang kemerdekaan. Namun, aktivitas gerilya di Sulawesi Selatan dipandang sebagai ancaman oleh pemerintah kolonial Belanda.
Operasi Westerling
Pemimpin: Kapten Raymond Westerling ditugaskan memimpin “Depot Speciale Troepen” (DST), pasukan elit Belanda, untuk menghancurkan gerakan perlawanan di Sulawesi Selatan.
Metode: Westerling menggunakan metode yang sangat brutal, yang ia sebut sebagai “aksi kontra-teror.” Ini termasuk:
Eksekusi Massal: Ribuan warga sipil yang dituduh membantu pejuang kemerdekaan dieksekusi tanpa pengadilan.
Kekerasan Sistematis: Penyiksaan, pembunuhan, dan pemerkosaan dilakukan terhadap warga sipil.
Korban
Jumlah Korban: Diperkirakan 40.000 orang tewas selama operasi ini, meskipun angka pastinya masih diperdebatkan.
Profil Korban: Sebagian besar adalah petani dan warga desa yang tidak terlibat langsung dalam perlawanan.
Dampak
Trauma Kolektif: Peristiwa ini meninggalkan trauma mendalam bagi masyarakat Sulawesi Selatan, yang masih mengenang kekejaman tersebut hingga kini.
Perjuangan Kemerdekaan: Meskipun dimaksudkan untuk menghancurkan perlawanan, kekejaman Westerling justru memperkuat semangat perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajahan.
Hubungan Indonesia-Belanda: Pembantaian Westerling menjadi salah satu faktor yang memperkeruh hubungan antara Indonesia dan Belanda, bahkan setelah kemerdekaan diakui secara resmi pada 1949.